AFFAN KURNIAWAN, PENGEMUDI OJOL MENINGGAL DUNIA DILINDAS OLEH MOBIL RANTIS BRIMOB


KOMPAS.com - Affan Kurniawan (21), pengemudi ojek online yang menjadi tulang punggung keluarganya, meninggal dunia setelah dilindas kendaraan taktis (rantis) Brimob di Pejompongan, Jakarta Pusat, Kamis (28/8/2025).

Sehari-hari, Affan bekerja keras untuk menghidupi orang tua, kakak laki-laki yang juga ojol, dan adik perempuannya yang masih duduk di bangku SMP.
“Dia tulang punggung keluarga, diandalkan ibunya banget,” ujar Muri, pemilik kontrakan Affan di Jalan Tayu, Menteng, Jakarta Pusat. Di kontrakan sempit berukuran 3x11 meter itu, Affan tinggal bersama tujuh anggota keluarga lainnya.
Kehidupan mereka sederhana, orang tua bekerja serabutan, kakak juga pengemudi ojol, sementara adik perempuannya masih sekolah. Meski hidup pas-pasan, Affan selalu berusaha menopang kebutuhan keluarga setiap harinya.

Di panggung raksasa bernama Jakarta, di antara deru mesin yang tak pernah lelah dan gemerlap lampu yang menutupi banyak luka, ada sebuah narasi yang dipaksa tamat. Judulnya Affan Kurniawan. Usianya baru 21 tahun, profesinya pengemudi ojek online. Ia tewas bukan karena takdir di persimpangan jalan, melainkan karena tersapu oleh brutalitas institusi: terlindas kendaraan taktis Brimob di tengah riuh demonstrasi 28 Agustus 2025.

Malam itu, Affan tidak pernah menyelesaikan orderannya. Ia tidak pernah kembali ke rumah kontrakan 3x11 meter yang sesak oleh tujuh nyawa dan satu harapan sederhana: bertahan hidup.

Kronologi Kejadian

Demo di Jakarta pada Kamis kemarin awalnya digelar oleh para buruh yang melakukan aksi turun ke jalan sejak pukul 10.00 WIB. Mereka kemudian berorasi di depan gedung DPR/MPR RI di Jalan Gatot Subroto, Senayan, Jakarta.


Sekitar pukul 13.00 WIB, massa buruh sudah membubarkan diri. Namun, selang beberapa waktu, muncul aksi serupa di depan gedung DPR, tetapi kali ini digelar oleh para mahasiswa dan masyarakat lainnya. Demonstrasi sempat ricuh kemudian terkendali, bahkan massa dan aparat polisi yang bertugas sempat berfoto bersama dan berpelukan. Hanya saja, kondisi itu tak berlangsung lama. Bentrokan antara massa dan aparat kembali terjadi.
Saat itu, Affan Kurniawan sedang mengantarkan makanan ke Bendungan Hilir (Benhil), yang berada tidak jauh dari lokasi demo tersebut. Affan yang terhenti di Pejompongan mencoba menyeberang di tengah kerumunan massa.
Nasib nahas menghampirinya karena pada saat menyeberang, ia terpeleset dan terjatuh. Secara tiba-tiba, kendaraan taktis (rantis) brimob melaju dengan cepat menerobos massa. Affan pun terlindas. Para driver ojol dan juga massa saat itu langsung mengamuk dan memukul serta melempari rantis brimob tersebut.
Affan sendiri langsung dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), namun nyawanya tak tertolong. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo angkat bicara mengenai kejadian tersebut. Ia meminta maaf pada keluarga korban. Kompolnas juga sudah diperintahkan untuk mengusut tuntas kejadian tersebut.

Pertanyaan dari Aspal Jalanan

Affan tidak sedang "terjebak" dalam kericuhan seolah ia berada di waktu dan tempat yang salah. Ia berada di tempat yang semestinya: di jalanan ibu kota, arteri ekonomi rakyat kecil, menjalankan pekerjaannya. Ponselnya masih menyala, aplikasi masih aktif, orderan makanan menunggu untuk diantar. Affan adalah pekerja, bukan perusuh.

Maka, ketika kendaraan taktis itu menabraknya, dan menurut laporan beberapa saksi mata, berhenti sejenak sebelum kembali bergerak hingga melindas tubuhnya, peristiwa ini tak bisa lagi dilihat sebagai kecelakaan biasa. Kronologi ini memunculkan pertanyaan yang paling mengerikan: apa yang sesungguhnya terjadi dalam jeda waktu tersebut? Peristiwa ini menjelma menjadi sebuah pernyataan tentang betapa murahnya nyawa seorang pekerja di hadapan aparatus kekuasaan. Kendaraan itu bukan sekadar besi dan mesin; ia adalah simbol negara yang menunjukkan sisi kekuasaannya yang paling brutal dan tanpa kompromi.

Tangis Ibu, Luka yang Tidak Akan Sembuh

Dan ketika negara mengkhianati janjinya, yang tersisa adalah tragedi paling personal, yang gaungnya melampaui statistik dan analisis kebijakan: ratapan seorang ibu. Video tangisannya adalah bagian tersulit dari tragedi ini. Suara pecah dan raga yang goyah itu adalah duka yang melampaui kata, sebuah kehilangan yang tak tergantikan. Dalam tangisannya, kita tidak hanya mendengar duka seorang ibu, tetapi juga jeritan sebuah bangsa yang gagal melindungi anaknya.



Uang miliaran rupiah pun tidak akan bisa menggantikan duka orang tua yang kehilangan anaknya. Kalimat itu mengingatkan kita bahwa nyawa tidak pernah bisa ditebus oleh angka, seberapa besar pun kompensasi yang ditawarkan. Seorang anak bukan aset ekonomi. Ia adalah darah dan daging, kenangan, harapan, doa yang dibisikkan setiap malam. Kehilangan itu tidak akan pernah terbayar.

Kematian Affan Kurniawan adalah vonis bagi kita semua. Vonis bahwa negara telah gagal dalam tugasnya yang paling asasi. 


Referensi:

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama